Friday, September 25, 2009

Ketika Kiai Saling Nyantri

Adalah dua orang Kiai di Tanah Jawa yang sangat terkenal kealimannya pada awal abad ke-20, yaitu Kiai Cholil Bangkalan (wafat 1925) yang merupakan gurunya kiai setanah Jawa bahkan se Nusantara. Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah adalah di antara para muridnya. Selain itu ada Kiai Muhammad Dahlan Jampes Kediri, seorang waliyullah yang menjadi guru para Kiai sezamannya dan yang menurunkan seorang ulama besar yaitu Kiai Ihsan Jampes penulis beberapa kitab seperti Sirajut Thalibin dan Manahijul Imdad yang terkenal di seluruh dunia.
Sebagai seorang ulama, maka semakin tinggi ilmunya semakin tawadlu sikapnya, walaupun usianya sudah lanjut dan kealimannya diakui semua ulama, maka tidak ada halangan bagi Kiai Dahlan untuk nyantri pada Kiai Cholil di Bangkalan Madura. Meski telah belajar ke berbagai kiai terkemuka di seluruh pesantren di tanah Jawa, tetapi rasanya kurang lengkap bagi Kiai Dahlan kalau tidak berguru kepada kiai Cholil dan ingin diakui sebagai murid dari waliyullah ini.

Dengan meninggalkan pesantren dan santrinya berangkatlah Kiai Dahlan ke Bangkalan untuk nyantri kepada Kiai Cholil. Di sana diterima sebagai santri biasa, sehingga sempat menghuni pesantren itu beberapa bulan. Setelah beberapa bulan berlangsung Kiai Cholil berkata kepada Kiai Dahlan agar segera pulang, sebab semua ilmu yang dimiliki sudah habis sudah diajarkan semua. Sebagai ketaatan pada guru maka setelah memperoleh ijazah dari Kiai kharismatik tersebut maka pulanglah Kiai Dahlan ke Pesantrennya, kembali mengajar para santri.

Betapa kagetnya Kiai Dahlan selang beberapa bulan kemudian Kiai Cholil datang ke pesantren Jampes Kediri dengan niat untuk berguru menjadi santri Kiai Dahlan, sebab ada beberapa ilmu penting yang belum dikaji Kiai Cholil dan ilmu itu hanya dimiliki Kiai Dahlan.

Setelah terjadi perbincangan lama, maka diterimalah Kiai Cholil sebagai santri mengkaji beberapa disiplin keilmuan di bawah bimbingan Kiai Dahlan. Hubungan keduanya menjadi berbalik yang semula kiai Cholil menjadi guru sekarang diperlakukan sebagai muridnya. Sementara Kiai Dahlan menjadi gurunya dan bertindak sebagai guru.

Setelah beberapa bulan belajar di pesantren itu, maka Kiai Dahlan memangggil Kiai Cholil dan mengatakan bahwa saat ini jumlah santri baru yang mendaftar semakin banyak, sehingga kamar pondok tidak lagi mencukupi, karena itu Kiai Cholil dipersilahkan agar segera pulang biar kamarnya bisa untuk menampung santri baru. Setelah memproleh ijazah dari Kiai Dahlan, maka pulanglah Kiai Cholil Bangkalan ke Pesantrennya di Bangkalan.

Dalam tradisi pesantren mencari ilmu memang tidak ada batasnya, meski telah lanjut usia, meski telah berada di puncak ketenaran. Bagi para ulama ilmu bukanlah popularitas, tetapi sarana menuju ketakwaan. Ilmu yang tidak menambah ketakwaan hanyalah kehampaan, ilmu yang mendekatkan kepada Allah adalah ilmu yang benar-benar manfaat, migunani, karena itu akan terus dicari sepanjang hayat. (Abdul Mun’im DZ – Diceritakan Gus Irfan Masruhin, keluarga Kiai Ihsan Dahlan Jampes Kediri)
Sumber : NU Online

Read more...

Thursday, September 24, 2009

Puasa Membangun Mental Karakterisktik Bangsa

Oleh : DR. KH.MA. Sahal Mahfudh

Ibadah puasa adalah salah satu diantara sekian banyak bentuk syari’at. Syari’at dalam pengertian nilai-nili Islam yang merupakan bagian dari kompleksitas ajaran Islam. Artinya nilai-nilai Islam tidak bisa dibedakan dengan syari’ah dimana ia bertujuan untuk membangun kehidupan manusia berdasarkan nilai-nilai kebajikan (ma’rufat) dan membersihkan dari nilai-nilai ketidakbajikan (munkarat). Dalam hal ini syari’at memberikan bimbingan dalam bentuk ibadah sebagi ritulanya yang mencakup teknik-teknik (kaifiyyah) dan kaitan manfaat yang terakandung di dalam ibadah tersebut.
Kerena puasa merupakan syariat, maka ia memiliki kaifiyyah. Kaifiyyah itu mengatakan bahwa puasa adalah menahan diri secara dzahir dari makan minum dan bersetubuh dan menjauhkan diri secara batin diri kebohongan-kebohongan, menggunjing, sumpah palsu dan pandangan-pandangan yang diikuti oleh hawa nafsu. Dalam arti yang lebih husus puasa adalah menjaga perilaku lahir dan perilaku batin. Kesemuanya bermuara pada pencapaian satu tujuan menciptakan manusia-manusia yang taat kepada Tuhan yang ketaatannya tidak pada hal-hal ritual saja tetapi pada nilai-nilai ketuhanan itu sendiri yang berbentuk syari’ah atau nilai-nilai Islam yang berfungsi sebagai penuntun, petunjuk dan pembimbing bagi kehidupan manusia.

Dengan demikian ada dua aspek yang tidak bisa ditinggalkan dari puasa, pertama aspek mengendalikan diri yang kedua aspek teologis. Keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain, pada satu sisi mengendalikan diri akan sulit dilakukan jika tidak ada satu motifasi yang mendorong jiwa untuk melakukannya. Dan yang mampu mendorong kearah itu adalah aspek teologis yang bermuara pada aspek-aspek transendental, kalau sekarang kita mau jujur menjaga puasa sebaik-baiknya, itu adalah pilihan, kita mau tidak puasa tanpa seorangpun tahu, itu juga mudah. Terserah kita untuk menentukannya kecuali kalau kita mampu merasakan kehadiran-Nya disetiap ruang dan waktu yang kita tempati. Di sini kita tidak punya pilihan lain kecuali harus menjaga atau melakukan amal hanya karena Allah demi keabsahan dari puasa dan amal kita itu, seperti dinyatakan dalam sebuah hadits qudsi “Kullu amali ibn adam lahu illa as-shiyam, faiinahu li wa ana ajzi bihi”.

Jika aspek-aspek puasa itu sudah dilakukan secara benar dan totalitas -dalam arti tidak sekedar melakukan ritualnya saja tetapi lebih dari itu nilai-nilai syari’ahnya- maka bukan tidak mungkin akan terbentuk mental karakteristik yang sangat mendasar dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini sangat fundamental ketika hampir semua aspek kehidupan bangsa ini baik aspek pendidikan, aspek ekonomi social, budaya dan politik sedang dilanda krisis multidimensional.

Aspek pendidikan sampai hari ini dinilai belum punya karakter, aspek ekonomi semua masyarakat sudah tahu kalau bangsa ini banyak utang untuk tidak mengatakan kolaps, aspek social semakin mengerikan karena masyarakat semakin tidak memperhatikan setandar-nilai-nilai social dan nilai-nilai social itu sendiri sekarang semakin mengarah pada kebebasan tanpa batas dan individualis maerialistis, kalau dulu mo-limo itu dianggap pelanggaran berat sekarang tidak lagi karena semakin banyak orang melakukannya, kalau dulu orang itu bisa gotong-royong tanpa pamrih sekarang diperhitungkan untung-rugi secara materi, keuntungan apa yang bisa diperoleh. Bagaimana dengan aspek politik? Sama saja, rasanya belum ada yang benar-benar memperjuangkan rakyat, yang ada adalah perjuangan kepentingan individu-individu atau golongan untuk mendapatkan posisi-posisi formal dieksekutif dan legislative.

Semua itu adalah kenyataan yang tidak dapat diingkari dan kalau kita runut dari kenyataan diatas maka banyak factor penyebabnya, antara lain adalah lemahnya kemampuan mengendalian diri, orang ingin mendapatkan sesuatu yang diinginkannya secara cepat, ia lupa bahwa segala sesuatunya harus melalui proses dan tahapan-tahapan tertentu, fikirannya menjadi sempit, pandangannya tidak lagi jernih, aspek moral etika kurang diperhatikan yang ada dalam otaknya adalah bagaimana secepatnya memenuhi ambisinya itu. Penyebab lain yang paling dominan adalah lemahnya aspek teologis, meskipun kita mangatakan sebagai bangsa yang religius tetapi kenyataannya kita sering menganggap diri kita pintar, menerjang lalu berkelit dan bermain-main dari ketentuan Tuhan dengan berbagai cara seolah-olah kita yang berkuasa atas hukum dan Tuhan tidak mampu berbuat apa-apa, menganggap bahwa hari pembalasan tidak ada apa-apanya.
Nah, Jika kita hubungkan fenomena diatas dengan ibadah puasa, maka akan kita temukan satu titik tolak dimana kita bisa memulai segala-galanya dengan filter menahan diri ala puasa artinya kalau ada rambu-rambu larangan maka jangan diterjang, kalau belum waktunya jangan ditabrak, melakukan segala sesuatunya setelah tahu betul bahwa sesuatu itu benar-benar diperbolehkan dan yang terpenting adalah satu kesadaran teologis dengan cara muraqabah yaitu satu kesadaan dimana kita merasa melihat Allah atau setidaknya selalu ada perasaan bahwa Allah selalu melihat kita dalam ahwal apapun, tidak ada yang alpa dalam pandangan-Nya, segala sesuatau pasti ada balasannya
Sumber : http://www.maslakulhuda.net

Read more...

Wednesday, September 23, 2009

Jalan Tengah Penyatuan Awal Bulan

Di Poskan Oleh : NU Online
Oleh Tasrief Surungan*

Setiap tahun, umat Islam di tanah air akan selalu berhadapan dengan kemungkinan hari raya ganda sebelum solusi yang tepat dapat ditemukan. Tulisan ini mengulas akar perbedaan penetapan awal bulan, termasuk Ied Alfitri, dan peluang solusinya dari sudut tinjauan ayat-ayat Qauliyah dan Kauniyah.

Mengawali dari Definisi

Sebenarnya, landasan penetapan awal Ramadan dan idul fitri disepakati oleh semua ulama Islam, yaitu kenampakan hilal, sesuai hadits Nabi sebagai berikut: "Janganlah kalian berpuasa hingga melihat Hilal atau kalian menyempurnakan jumlah bilangan Sya'ban dan janganlah kalian berbuka (mengakhiri Ramadhan) hingga kalian melihat Hilal (awal Syawal) atau kalian meyempurnakan jumlah bilangan bulan Ramadhan." (HR. Muslim).

Masalah timbul karena kekeliruan pemahaman, yaitu anggapan bahwa hilal adalah bulan, padahal bukan. Hilal yang bentuknya menyerupai sabit di ufuk barat saat matahari terbenam pada setiap awal bulan Hijriah adalah kenampakan bulan. Jadi, bukan “bulannya”. Hilal itu, fenomena cahaya, refleksi sinar matahari oleh bulan ke bumi. Eksitensi hilal bergantung pada ada tidaknya cahaya, sedangkan bulan tidak. Hilal adalah obyek yang menempel pada bulan.

Dalam Astronomi, hilal adalah salah satu fase bulan (moon phase), yaitu fase terkecil. Fase bulan membawa banyak informasi, selain sebagai tanda waktu juga memuat informasi letak matahari setelah terbenam. Mengamati fase bulan, kita dapat membayangkan letak planet bumi di jagad raya. Fase bulan juga dapat berfungsi sebagai penunjuk arah, termasuk clue mengenai arah kiblat.

Kekeliruan memaknai hilal dari muatan hadits Nabi yang dikutip di atas menjadi akar perbedaan dalam penentuan awal bulan. Secara astronomis, penentuan posisi bulan dengat tepat memang dimungkinkan. Itu sebabnya sebagian umat Islam yang percaya bahwa cukup melalui perhitungan, kita dapat menentukan secara akurat awal bulan. Perlu dipahami, faktor ini secara ilmiah tidak cukup (insufficient) sebab posisi bulan hanya salah satu dari beberapa variabel kenampakan hilal. Kendati posisi bulan di atas ufuk menjadi prasyarat, variabel lain yaitu sudut elongasi bulan-matahari dan usia bulan setelah konjunksi (ijtimak) tetap harus diperhitungkan.

Sesungguhnya Al-Qur'an memberi definisi yang sangat akurat tentang hilal, yaitu dalam ayat berikut:"Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah hilal itu adalah tanda tanda waktu bagi manusia dan ibadah haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakngnya. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (QS 2:189)

Definisi fungsional ini menyebut hilal sebagai tanda waktu. Hal ini jelas karena hilal muncul secara berkala, sekali sebulan. Logika umum, yang disebut tanda biasanya ada gambar berupa lambang. Dengan kata lain ada kenampakan (visibility). Kuantisasi kenampakan hilal yang hanya memperhitungkan posisi jelas tidak memadai (inadequate), terlebih jika kategorinya ekstrim misalnya menganggap kelahiran bulan baru adalah kapan saja setelah konjunksi. Temuan ilmu pengetahuan mengungkapkan bahwa agar hilal dapat teramati maka posisi bulan minimal dua derajat di atas ufuk saat magrib (matahari terbenam). Aspek lain yang patut dicermati adalah letak ayat ini serumpun dengat ayat-ayat puasa. Ini mengisyaratkan bahwa hilal memang tidak dapat dipisahkan dengan penetuan awal bulan (Ramadhan) sekaligus Ied Alfitri sebagaimana juga ditekankan oleh Nabi melalui hadith di atas.

Penekanan agar tidak keliru mendefinisikan hilal masih berlanjut pada bagian berikutnya yaitu: Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakngnya. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.

Sepintas, bagian ayat ini seolah keluar dari konteks sebab tidak terkait langsung dengan topik utama, yaitu hilal. Gaya bahasa Al-Qur'an memang sangat indah, tinggi sekaligus diperuntukkan bagi kaum yang suka berfikir (ulil albab).

Secara umum, bagian ini mengandung pesan bahwa dalam membahas sesuatu harus dari “pintu masuknya”. Bukankah definisi merupakan awal dari perbincangan tentang ilmu? Allah SWT mengajari Adam AS tentang namanama juga terkait langsung dengan definisi.

Dari Definisi ke Jalan Tengah

Akar perbedaan penentuan awal bulan, termasuk Idul Fitri bukan karena perbedaan metode, tapi perbedaan menetapkan definisi. Rukyat dan hisab adalah metode. Rukyat adalah pengamatan (observasi) sedangkan hisab adalah perhitungan. Metodologi berbeda dapat memberi hasil yang sama jika dipakai di atas definisi yang disepakati. Jika definisi kenampakan hilal diperhitungkan maka penggabungan keduanya justru akan saling menguatkan, bukan melemahkan.

Ada upaya kuantisasi hilal yang secara ilmiah cukup representatif yaitu yang lazim disebut sebagai Imkanur Rukyat. Kriteria visibilitas hilal melalui cara ini memperhitungkan faktor tambahan selain posisi. Metoda gabungan ini sesungguhnya dapat dipandang sebagai jalan tengah sebab mengapdosi syarat kenampakan hilal dan memperkecil peluang hari raya ganda.

Meskipun demikian, karena fenomena hilal tidak bersifat deterministik melainkan stokastik bahkan bersifat kuantum, maka tetap diperlukan observasi. Observasi sebagai anjuran shariah merupakan unsur utama metoda ilmiah. Ilmu pengetahuan berkembang melalui jalinan erat antara teori dan observasi.

Keutuhan Umat

Sejauh ini, perbedaan hari raya sering terjadi dan sudah dianggap biasa. Umat, sebagaimana juga para cendekiawan, menyikapi perbedaan ini dengan arif. Kendati ada riyak kecil di masyrakat, tetapi insya Allah tidak akan ada gejolak sosial akibat perbedaan hari raya. Dipahami bahwa perbedaan dalam tubuh umat islam adalah rahmat. Pesan ini bernilai luhur yang menunjukkan konsistensi ajaran Islam sebagai sumber kedamaian.

Hilal sebagai sandi persatuan memang seyogyanya menyatukan umat, bukan menjadikannya retak. Hilal adalah fenomena alam yang sarat makna yang sejak awal menjadi lambang dan bendera kaum muslimin. Hilal adalah simbol tauhid sekaligus persatuan. Tidak ada sekat apalagi jurang pemisah di antara kaum muslimin. Pesan luhur dari frase "perbedaan sebagai rahmat" bersifat multidimensi. Selain sebagai bahan perekat demi menjaga keutuhan dan kesatuan umat, juga menjadi sumber inspirasi bagi perkembangan pemikiran umat.

Perbedaan adalah arena untuk mengasah ketajaman intuisi dan intelektual sekaligus kearifan. Ia menjadi kekuatan besar saat dipadu dengan perintah Alquran untuk tidak berhenti mencari kebenaran. Artinya, pada satu sisi, ketika kebenaran itu belum ditemukan, atau sudah ditemukan namum belum dipahami, atau sudah dipahami tetapi keliru, maka janganlah perbedaan pendapat itu menyebabkan keretakan. Tetaplah satu dalam ikatan keagamaan, satu dalam ukhuwah.

Keliru menyikapi pesan tadi berarti gagal memaknai ajaran islam yang paling esensial. Pada sisi lain, ketika kebenaran dapat dipersepsi, hati yang volume spritualnya melebihi alam raya harus terbuka. Jalan tengah penetuan hari raya tersedia lebar. Permasalahannya sekarang, siapkah kita membuka diri untuk memulai dari definisi yang sama dan benar? Jika tidak maka perayaan hari raya ganda akan tetap langgeng, padahal sesungguhnya umat merindukan satu hari raya.

* Penulis adalah Lektor Kepala Jurusan Fisika Universitas Hasanuddin, Makassar
Sumber : NU Online

Read more...

MUI: Kemungkinan Besar Idul Fitri Ahad

Di Poskan Oleh : NU Online
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa kemungkinan tahun ini tidak ada perbedaan antara NU dan Muhammadiyah terkait penentuan jatuhnya Idul Fitri.
''Kemungkinan besar Idul Fitri jatuh pada Ahad (20/9) dan tidak ada perbedaan,'' tegas KH Ma'ruf Amin, Ketua MUI, dalam konferensi persnya di kantor MUI Jl. Diponegoro Jakarta, Selasa (15/9).

''Kemungkinan sama ini karena tinggi hilal pada Sabtu malam sudah mencapai antara tiga hingga lima derajat. Karena tinggi hilal sudah di atas dua derajat, maka semua akan menetapkan Ahad sebagai hari Idul Fitri, sehingga tidak ada perbedaan,'' tambah Kiai Ma'ruf.

Kondisinya, menurut Kiai Ma'ruf, akan kritis atau berpeluang adanya perbedaan jika tinggi hilal masih di bawah dua derajat di atas ufuq.

Namun demikian kiai Ma'ruf mengungkapkan bahwa bagaimanapun MUI dalam menetapkan Idul Fitri, selalu menunggu keputusan sidang Itsbat pemerintah.

''Jadi seperti biasanya, dalam penetapan awal Syawal, kami selalu berdasarkan sidang Itsbat yang dilakukan oleh Depag bersama ormas-ormas Islam,'' tandas Kiai Ma'ruf.

Pada kesempatan yang sama, Ketua MUI, KH Umar Shihab, mengungkapkan walaupun kemungkinan terjadinya perbedaan sangat kecil, pihaknya meminta jika ada perbedaan, jangan dibesar-besarkan.

''Karena perbedaan itu suatu rahmat,'' kata Umar Shihab. (min)

Read more...

Pemerintah Tetapkan 1 Syawal Ahad

Jakarta, NU Online
Pemerintah dalam hal ini Departemen Agama menetapkan awal Syawal atau hari raya Idul Fitri 1430 H jatuh pada Ahad (20/9) setelah mendapatkan laporan rukyatul hilal dari Pelabuhan Ratu Sukabumi dan Semarang.
"Dengan ini menetapkan awal Syawal 1430 H jatuh pada hari Ahad bertepatan dengan 20 September 2009," kata Menteri Agama maftuh Basyuni setelah mendengarkan pembacaan laporan hasil rukyatul hilal dari Badan Hisab dan Rukyat.

Hilal di Pelabuhan Ratu disaksikan oleh tim Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama, antara lain Kiai Yahya, Kiai Ma'mur dan Kiai Ansor.

Di Semarang hilal di saksikan di menara Masjid Agung Jawa Tengah langsung oleh Tim Lajnah Falakiyah PBNU antara lain Hendro Setyanto dan Izzudin.

Para saksi ini telah disumpah oleh pengadilan agama setempat dan laporan dianggap sah.

Berbeda dengan penetapan tahun-tahun sebelumnya, Menteri Agama langsung membacakan keputusan tanpa menunggu pemandangan umum dari ormas Islam. Pandangan umum baru disapaikan setelah pembacaan hasil sidang itsbat.

Ketua Lajnah Falakiyah PBNU KH A. Ghazalie Masroeri dalam sidang itu menambahkan, hilal juga terlihat di Gresik dan Jember. (nam)

Read more...

Menuju Penyatuan Kriteria Awal Bulan (1)

Pertemuan para wakil ormas Islam, ahli hisab dan astronom telah berulangkali diselenggarakan. Musyawarah, diskusi dan seminar untuk menyatukan persepsi kriteria awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah telah sering dilakukan. Namun hasilnya masih tetap sama, yaitu adanya perbedaan.
Paling tidak, ada 2 hal yang menyebabkan kegagalan itu. Pertama, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi perbedaan adalah imkanur rukyah tanpa ada kejelasan landasannya. Kedua, toleransi NU yang cukup tinggi belum mendapatkan tanggapan yang seimbang. Ibaratnya NU lari kencang ke titik tengah untuk salaman dengan sahabat-sahabatnya tetapi sahabat- sahabat itu belum beranjak dari tempatnya atau masih lari di tempat.

NU yang semula mendasarkan pada rukyah maju menjadi rukyah plus hisab dan seterusnya rukyah berkualitas plus hisab akurat kemudian ditambah lagi menerima kriteria imkanur rukyah. Jadi NU mendasarkan kepada rukyah berkualitas dengan dukungan hisab yang akurat sekaligus menerima kriteria imkanur rukyah. Tetapi sahabat- sahabat itu masih berkutat pada posisi wujudul hilal.

Solusi yang paling mendasar adalah perlunya melakukan redefinisi hilal dan rukyah. Kita bahas apa hilal menurut bahasa, Al-Qur’an, As-Sunnah dan menurut sains dan kita bahas pula apa itu rukyah.

Hilal Menurut Bahasa

Hilal dalam bahasa Arab adalah sepatah kata isim yang terbentuk dari 3 huruf asal yaitu ha-lam-lam (ل - ل- ﻫ), sama dengan terbentuknya kata fi’il هَلَّ dan اَهَلَّ. Hilal artinya bulan sabit yang tampak. هَلَّ dan اَهَلَّ dalam konteks hilal mempunyai arti:

هَلَّ اْلهِلاَلُ dan اَهَلَّ اْلهِلاَلُ artinya bulan sabit tampak.
هَلَّ الرَّجُلُ artinya seorang laki-laki melihat/memandang bulan sabit.
اَهَلَّ اْلقَوْمُ اْلهِلاَلَ artinya orang banyak teriak ketika melihat bulan sabit.
هَلَّ الشَّهْرُ artinya bulan (baru) dimulai dengan tampaknya bulan sabit.
Jadi menurut bahasa Arab, hilal itu adalah bulan sabit yang tampak pada awal bulan.

Hilal Menurut Al-Qur’an

Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 189 mengemukakan pertanyaan para sahabat kepada nabi tentang penciptaan dan hikmah ahillah (jamak dari hilal). Atas perintah Allah SWT kemudian Rasulullah SAW menjawab bahwa ahillah atau hilal itu sebagai kalender bagi ibadah dan aktifitas manusia termasuk haji. Pertanyaan itu muncul karena sebelumnya para sahabat telah melihat penampakan hilal atau dengan kata lain hilal telah tampak terlihat oleh para sahabat.

Para mufassir telah mendefinisikan, bahwa hilal itu mesti tampak terlihat. Ash-Shabuni dalam tafsirnya Shafwatut Tafasir juz I halaman 125 mengemukakan tafsir ayat tersebut sebagai berikut:

يسالونك يامحمد عن الهلال لم يبدو دقيقا مثل الخيط ثم يعظم ويستدير ثم ينقص ويدق حتى يعود كما كان؟

“Mereka bertanya kepadamu hai Muhammad tentang hilal mengapa ia tampak lembut semisal benang selanjutnya membesar dan terus membulat kemudian menyusut dan melembut sehingga kembali seperti keadaan semula?”

Dalam pada itu Sayyid Quthub dalam tafsirnya Fii Zhilalil Qur’an juz I halaman 256 menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:

فهم يسالون عن الاهلة ... ما شأنها؟ ما بال القمر يبدو هلالا ثم يكبر حتى يستدير بدرا ثم يأخذ فى التناقص حتى يرتد هلالا ثم يختفى ليظهر هلالا من جديد؟

“Maka mereka bertanya tentang ahillah (hilal) … bagaimana keadaan ahillah (hilal)? Mengapa keadaan qamar (bulan) menampakkan hilal lalu membesar sehingga bulat menjadi purnama selanjutnya berangsur menyusut sehingga kembali menjadi hilal lagi dan kemudian menghilang tidak tampak untuk selanjutnya menampakkan diri menjadi hilal dari (bulan) baru?”

Jelaslah menurut ayat tersebut dan tafsirnya, bahwa hilal atau bulan sabit itu pasti tampak terlihat.

Hilal Menurut As-Sunnah

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud dari sahabat Nabi SAW bernama Rib’i bin Hirasy yang mengatakan adanya perbedaan di kalangan para sahabat mengenai akhir ramadhan kemudian ada laporan hasil rukyah; perukyah melaporkan dengan ungkapan:

بِاللهِ لاَهَلَّ اْلهِلاَلُ اَمْسِ عَشِيَّةً

“Demi Allah sungguh telah tampak hilal kemarin sore.”

Hadits ini menyatakan bahwa hilal itu pasti tampak terlihat. Demikian pula dalam hadits-hadits yang lain.

Hilal Menurut Sains

Hilal atau bulan sabit atau dalam istilah astronomi disebut crescent adalah bagian dari bulan yang menampakkan cahayanya terlihat dari bumi ketika sesaat setelah matahari terbenam pada hari telah terjadinya ijtima’ atau konjungsi.

Dari tinjauan bahasa, Al-Qur’an, As-Sunnah dan tinjauan sains sebagaimana diutarakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa hilal (bulan sabit) itu pasti tampak cahayanya terlihat dari bumi di awal bulan, bukan sekedar pemikiran atau dugaan adanya hilal. Oleh karena itu kalau tidak tampak tidak disebut hilal.

Sehubungan dengan kriteria hilal itu mesti tampak, maka Rasulullah SAW menyuruh kaum muslimin melakukan rukyah yakni melihat, mengamati secara langsung (observasi) terhadap hilal itu.

KH A Ghazalie Masroeri
Ketua Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU)

Read more...

Menuju Penyatuan Kriteria Awal Bulan (2)

Dalam konteks penentuan awal bulan qamariyah, maka yang dimaksudkan dengan rukyah adalah rukyatulhilal. Rukyah dalam bahasa arab sepatah kata isim berbentuk masdar dari fi’il يَرَى- رَأَى berarti أَبْصَرَ, melihat dengan mata kepala. Diartikan melihat dengan mata kepala tentu objek lihat (maf’ul bih) adalah sesuatu yang tampak.
Contoh QS Al-An’am (6): 76-78
...رَأَى كَوْكَبًا … melihat bintang (a. 76)
…رَأَى اْلقَمَرَ … melihat bulan (a. 77)
…رَأَى الشَّمْسَ … melihat matahari (a. 78)

Contoh dalam Hadits:
اِذَا رََأَيْتُمُ اْلهِلاَلَ apabila kamu sekalian melihat hilal… (HR. Muslim)

Jadi rukyah yang dikaitkan dengan hilal dalam mafhumul ayat QS. Al-Baqarah (2):189 dan yang disebut dalam lebih dari 20 hadits adalah “melihat hilal dengan mata kepala”.

Jelasnya rukyatul hilal adalah sistem penentuan awal bulan Qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah dengan cara melaksanakan pengamatan/observasi hilal di lapangan secara langsung, baik dengan mata telanjang maupun dengan alat, pada tanggal 29 malam 30 dari bulan yang sedang berjalan. Apabila hilal terlihat, maka bulan baru telah datang, dan apabila hilal tidak terlihat, maka bulan baru diawali malam berikutnya (istikmal).

Setelah hisab masuk dalam kalangan Islam, maka berkembang pemikiran terhadap makna rukyah. Sebagian ahli hisab memaknai rukyah dengan makna melihat dengan pikiran dan melihat dengan hati. Alasannya:

1. Ra-a (رأى) fi’il dari رؤية dapat diartikan أدرك / علم, yakni memahami/melihat dengan akal pikiran (tentang wujudulhilal).
2. Ra-a (رأى) fi’il dari رؤية dapat dapat diartikan حسِب / ظنّ, yakni menduga/yakin / berpendapat/melihat dengan hati (tentang wujudul hilal).

Dua makna yang terakhir ini dipegangi oleh sebagian ahli hisab. Sehingga mereka berpendapat hisab adalah sistem alternatif untuk penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan, awal Bulan Syawal, dan awal Bulan Dzulhijjah.

Pendapat sebagian ahli hisab ini perlu dikoreksi karena bertentangan dengan kaidah bahasa Arab:

1. Ra-a (رأى) yang mempunyai arti أدرك / علم dan حسِب / ظنّ itu, masdarnya رَأْيٌ, sedang yang disebut dalam hadits adalah رؤية
2. Oleh karena itu yang disebut dalam hadits Nabi SAW adalah لرؤيته (karena melihat penampakan hilal) bukan لرأيه (karena memahami, menduga, meyakini, berpendapat adanya hilal)
3. Ra-a (رأى) yang diartikan أدرك / علم menurut kaidah bahasa arab, maf’ul bih (obyek) nya harus berbentuk abstrak, seperti:

أرءيت الذى يكذب بالدين

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?” (QS. Al-Mâ’ûn [107]: 1)

Sedangkan ra-a (rukyah) yang disebut dalam hadits, obyeknya nyata secara fisik yaitu hilal, seperti:

اذا رايتم الهلال فصوموا...

“Apabila kamu melihat hilal maka berpuasalah…” (HR. Muslim)

4. Ra-a (رأى) yang diartikan حسِب / ظنّ, menurut kaidah bahasa arab mempunyai 2 maf’ul bih (obyek). Contoh:

انهم يرونه بعيدا

“Sesungguhnya mereka menduga siksaan itu jauh (mustahil)” (QS. Al-Ma’ârij [70]: 6), dan

ونره قريبا

“Sedangkan kami yakin siksaan itu dekat (pasti terjadi).” (QS. Al-Ma’ârij [70]:7).

Adapun yang dimaksud ra-a (rukyah) dalam hadits, maf’ul bih (obyek)nya satu. Contohnya seperti pada hadits nomor 3 dan contoh:

صوموا لرؤيته ...

“..berpuasalah kalian karena terlihat hilal…” (HR. Bukhari dan Muslim)

5. Ahli hisab sering mendukung argumentasinya dengan mengemukakan kalimat faqdurûlahu yang terdapat dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang diartikan kadarkanlah padanya, maksudnya perkirakanlah. Argumen ini tidak tepat karena:

a. Dalam hadits lain riwayat Muslim terdapat ungkapan faqdurûlahu tsalatsîna (فاقدرواله ثلاثين), artinya: “Maka kadarkan (tentukan) lah padanya 30 (hari).” Sesungguhnya hadits ini dapat dijadikan penjelasan bagi hadits riwayat Bukhari-Muslim tersebut.

b. Faqdurû adalah bentuk amr dari fi’il madli qadara dan memiliki banyak arti: sanggupilah, kuasailah, ukurlah, bandingkanlah, pikirkanlah, pertimbangkanlah, sediakanlah, persiapkanlah, agungkanlah, muliakanlah, bagilah, tentukanlah, takdirkanlah, persempitlah, tekanlah, dan masih banyak arti yang lain. Arti yang demikian banyak ini menjadi sulit untuk diambil salah satunya ketika dihubungkan dengan tujuan hadits tentang puasa Ramadlan.

Menurut ahli ushul Kata faqdurû disebut kata mujmal (banyak artinya). Untuk memahaminya harus dijelaskan dengan mencarikan kata mufassar (pasti artinya) seperti اَكْمِلُوْا (sempurnakanlah) sebagaimana dalam hadits Nabi SAW:

فَاَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ

“Maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tigapuluh.” (HR. Bukhori dan Muslim).

Dengan demikian jelaslah bahwa yang dimaksud dengan faqdurûlahu dalam hadits riwayat Bukhori dan Muslim tersebut harus dipahami dengan makna “sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tigapuluh”

6. Rukyah / رأى dalam hadits-hadits diberi penjelasan “kalau penglihatanmu terhalang mendung, maka sempurnakanlah bilangan menjadi 30”. Penjelasan demikian ini tidak relevan jika dihubungkan رأْى / رَأَي yang diartikan أدرك/ علم dan حسِب / ظنّ

Dengan koreksi ini, maka kita lebih yakin, bahwa makna yang tepat bagi rukyah / رأى yang dimaksud dalam hadits-hadits adalah “melihat dengan mata kepala/pengamatan langsung terhadap hilal”. Jadi arti dan maksud rukyatul hilal adalah melihat dengan mata kepala/mengamati secara langsung/observasi terhadap penampakan bulan sabit, tidak dapat dimaksudkan melihat dengan akal dan melihat dengan hati.

Rukyah adalah ibu yang melahirkan hisab. Tanpa rukyah hisab akan mandeg, bahkan mustahil adanya. Jadi rukyah itu ilmiah.

Meskipun Islam membuka luas cakrawala pengembangan pemikiran keIslaman, namun harus segera diingatkan, bahwa manusia secerdas apapun tidak akan mampu menyamai wahyu. Islam dibangun atas dasar wahyu, bukan dibangun atas dasar ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Islam, ilmu pengetahuan sangat bermanfaat untuk kesempurnaan memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam.

Ilmu hisab dapat digunakan untuk kesempurnaan memahami, menghayati dan mengamalkan nash tentang rukyatul hilal. Atas dasar prinsip ini maka:

1. Definisi hilal dan rukyah sebagaimana dipaparkan di muka, dijadikan sebagai landasan dalam mencari solusi atas perbedaan dan untuk menetapkan kriteria awal bulan.
2. Atas dasar landasan tersebut maka perlu ada kesepakatan metode hisab yang akan digunakan untuk penentuan kriteria imkanur rukyah.
3. Kriteria imkanur rukyah itu tidak dimaksudkan sebagai pengganti nash yang bertalian dengan rukyah.

Dalam pada itu, hak itsbat awal bulan Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah sepenuhnya berada di tangan Negara/pemerintah yang dalam hal ini didelegasikan kepada Menteri Agama.

Itsbat Menteri Agama yang didasarkan pada rukyah dan hisab sebagaimana rekomendasi MUI mengikat dan berlakau bagi umat Islam secara nasional. Oleh karena itu ormas Islam diharapkan tidak mengeluarkan penetapan awal bulan Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah mendahului itsbat pemerintah sehingga merisaukan umat.

KH A Ghazalie Masroeri
Ketua Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU)

*) Berasal dari paparan lisan yang disampaikan dalam diskusi kriteria awal bulan di Departemen Agama tanggal 18 September 2007 yang dihadiri oleh Menteri Agama, Sekjen Depag, Dirjen Bimas Islam, Direktur Urais, Kasubdit Pembinaan Syariat dan Hisab Rukyat Depag, wakil dari NU, Muhammadiyah, Persis, DDII, para ahli astronomi dari LAPAN, Observatorium Boscha, Planetarium, Bakosurtanal, BMG, Dirjen Pembinaan Peradilan Agama MA, dan MUI

Read more...
 

Blogroll

Colour

  © Blogger Template Created by [RIDHO]